Bagaimana Mengamati Diri Sendiri

Saya hidup di Kanada. Karena pernah menerima tunjangan sebagai orang yang kehilangan pekerjaan, maka saya diperbolehkan mengajukan beasiswa kepada pemerintah. Pemohon harus menghadap sendiri kepada pejabat yang berwenang, dan akan diseleksi sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

Jika melihat keadaan saya, untuk surat permohonan saya seperti penghasilan keluarga, latar belakang jurusan dan lain sebagainya, boleh dikatakan hampir tidak mungkin mendapatkan persetujuan dari pemerintah.


Dalam hati, saya sangat berharap permohonan ini berhasil. Dalam proses wawancara, jawaban saya pada saat itu ada banyak hal yang telah saya besar-besarkan dengan tujuan melancarkan tujuan saya. Ini boleh dibilang tidak jujur dengan keadaan yang sebenarnya. Sebelum mengajukan surat permohonan, saya sudah mempelajarinya dengan teliti, maka jawaban yang saya beri-kan sangat memuaskan, boleh dibilang wawancara pertama saya berhasil.

Hal ini membuat saya senang sekali. Saat dalam perjalanan pulang, saya sepenuhnya terbuai dalam kegembiraan akan kemenangan. Diam-diam dalam hati, saya bangga akan “kemampuan” saya, juga sangat bersyukur tidak mendapatkan gangguan apapun.

Saat itu dalam benak saya mendadak muncul pandangan mata yang tulus dari pejabat penguji itu, terpikir oleh saya bahwa pejabat tersebut sepenuhnya percaya dengan semua yang saya katakan, meskipun terdapat banyak sekali hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka dalam hati kecil mulai merasa tak tenang.

Ketika bis yang saya tumpangi itu berhenti, saya baru menyadari bahwa saya telah naik bis yang salah, yang arahnya berlawanan dengan tempat tinggal saya. Setelah turun dari bis mendadak dikejutkan diri sendiri sudah tersesat terlalu dalam di dunia fana ini.

Watak hakiki kebaikan kita sering kali tertutupi oleh hati manusia yang selalu mengejar keuntungan. Diri saya bukanlah hati seorang kultivator sejati yang seharusnya memancar keluar dari lubuk hati yang terdalam. Ketika menghadapi masalah yang berkaitan dengan keuntungan diri sendiri sudah tidak ada niat kebaikan. Misalnya persoalan permohonan yang saya ajukan ini, saya hanya peduli kepada diri sendiri bisa atau tidak, saya mendapatkan beasiswa itu, sedikit pun tidak memikirkan pemerintah.

Di dalam pikiran saya, pemerintah seperti sebuah mesin besar yang tidak bisa habis walaupun diambil terus. Saya merasa tidak perlu memikirkan pemerintah, sebaliknya pemerintah lah yang seharusnya memberikan bantuan kepada saya. Maka ketika saya mengucapkan kata-kata yang tidak sesuai dengan kenyataan, saya juga sama sekali tidak merasakan ucapan saya itu bisa merugikan siapa pun. Ini disebabkan karena kesan pemerintah yang berada dalam benak pikiran saya adalah sebuah pengertian yang sangat abstrak.

Ketika terpikir sampai di sini, mendadak terpikir oleh saya bahwa sebenarnya semua benda itu berjiwa. Misalnya, pemerintah Kanada bagaikan seekor beruang yang tulus, jujur dan baik hati, sedangkan diri saya ketika dalam proses berurusan dengannya tidak memperlakukan dia dengan baik, bahkan telah mempergunakan kata-kata yang licik untuk memperdayai dia, mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari beruang itu, yang mungkin bukan keuntungan yang seharusnya saya dapatkan.

Ketika terpikirkan perumpamaan seperti ini, saya merasakan dengan sekejap dalam diri saya telah muncul perasaan belas kasih yang sangat kuat. Merasakan sebenarnya pemerintah yang kelihatannya kuat, juga mempunyai kesulitan yang banyak sekali, pemerintah itu sebenarnya juga membutuhkan dukungan dan kerja sama dari setiap warganya.

Misalnya tunjangan pemerintah itu sangat terbatas, tidak mungkin bisa diberikan kepada setiap warga, maka membutuhkan kejujuran mutlak dari semua warga saat mengajukan surat permohonan, dengan demikian pemerintah baru bisa menentukan siapa orang yang paling membutuhkan tunjangan itu. Sedangkan tindakan saya ini, sangat memungkinan membuat orang yang lebih membutuhkan dana tersebut kehilangan kesempatan. Jika demikian, saya bukan hanya telah melukai “beruang” yang baik ini saja, namun juga telah melukai orang lain.

Sebenarnya, sebelum mengajukan permohonan, saya juga sudah tahu prinsip kejujuran ini harus dipegang, tetapi lagi-lagi karena timbul keinginan yang kuat untuk bisa mendapatkan tunjangan tersebut. Sejujurnya ketika terpikir jika kehilangan kesempatan ini, maka kita merasa tidak bisa menerimanya.

Sesungguhnya pada saat itu watak hakiki diri saya sudah tersesat ke dalam hati yang mengejar keuntungan. Jika mengingat diri saya seorang kultivator, asalkan setiap saat bisa melakukan secara nyata prinsip dari “Sejati, Baik, Sabar”, kita akan mengetahui dengan sangat jelas, segala perilaku kita sudah menyimpang dari prinsip ini.

Kembali ke rumah saya berkata pada suami, harus memikirkan pihak pemerintah juga. Semula dia tidak terlalu setuju dengan pendapat saya, dia menganggap kita ini orang kecil, sungguh lucu jika memikirkan pihak pemerintah yang begitu besar. Ketika saya mengutarakan perumpamaan pemerintah itu ibarat seekor beruang besar, saya melihat dalam sinar mata suami saya muncul perasaan malu dan menyetujui ucapan saya. Saya tahu itu watak hakiki kebaikannya yang telah muncul.

Selanjutnya dalam proses persiapan mencari pekerjaan, saya mengubah kembali daftar riwayat hidup saya, menghilangkan bagian-bagian yang tidak sesuai dengan kenyataan, serta kata-kata yang tidak hanya bisa membuat saya mendapat manfaat, bahkan bisa membuat persepsi keliru pada calon atasan. Setiap kali menghapus sebait kata-kata, hati mengerti kesempatan untuk direkrut sudah jadi agak kurang, tetapi dalam hati merasakan adanya semacam kemantapan dan kemuliaan yang belum pernah ada sebelumnya. (www.epochtimes.co.id)

Related Posts:

0 Response to "Bagaimana Mengamati Diri Sendiri"

Posting Komentar