Sistem Pers

A. ARTI PENTING PERS DALAM SISTEM KOMUNIKASI

Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah. Bahkan , dengan adanya media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.

Marshall Mc Luhan menyebutkannya sebagai the extension of man (media adalah ekstensi manusia). Media adalah perpanjangan dan perluasan dari kemampuan jasmani dan rohani manusia (F. Rachmadi, 1990). Keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia bisa disebarluaskan melalui pers.


Wilbur Schramm (1973), tak bisa dipungkiri pula bagi masyarakat, pers bisa dianggap sebagai pengamat, forum, dan guru (watcher, forum dan teacher). Maksudnya adalah setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat untuk masyarakat mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai ke masyarakat dari generasi ke generasi.

Pers memiliki dua sisi kedudukan, yaitu :

• Sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain.
• Pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat dan bukan merupakan unsur asing atau terpisah.

Arti penting pers di Indonesia adalah :

1. menjadi salah satu unsur sistem komunikasi.
Tidak bekerjanya unsur ini maka akan mempengaruhi kinerja sistem komunikasi. Pers menjadi perangkai bagian unsur sistem komunikasi dalam satu kebulatan utuh dan padu (wholism).
2. tujuan pers juga menjadi tujuan sistem komunikasi itu sendiri.
Jika sistem komunikasi mempunyai tujuan mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan keputusan, maka melalui pers semua itu bisa diatasi.
3. pers adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi sebuah keluaran atau output ke dalam sistem komunikasi.
Berbagai informasi yang diolah lewat media menjadi hasil yang berguna bagi proses keluaran atau output sistem komunikasi.

B. SISTEM PERS INDONESIA

Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories of The Press (1963) ada empat kelompok besar teori (sistem) pers, yaitu :
a) Sistem Pers Otoriter (authoritarian)
Sistem ini adalah sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut. Pers pada sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara atau kerajaan untuk memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kegiatan yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak.

b) Sistem Pers Liberal (libertarian)
Sistem ini berkembang pada abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara bak jika diberi kebebasan.
Kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosan” kebebasan berpikir. Oleh karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran.

c) Sistem Pers Komunis (marxist)
Berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada awal abad ke-20. Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara.

d) Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial
Muncul di Amerika Serikat pada abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan.

Dari uraian yang diatas, jika diamati Indonesia termasuk sistem pers tanggung jawab sosial. Aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat.

Kritikan terhadap empat teori diatas :

1. Lowenstein, dalam bukunya "Media, Messages, and Men" mengatakan bahwa empat teori pers itu tidak fleksibel dan tidak dapat diaplikasikan pada semua sistem pers. Kemudian ia menyarankan "pendekatan dua deretan bertingkat" (two tiered approach) yang mengidentifikasikan tipe kepemimpinan dan filsafat.

2. William Hachten, dalam karyanya "The World News Prism" mengajukan "five concept typology" yg berpegan pada ideologi authoritarian dan komunis serta kombinasi libertarian dan tanggung jawab sosial ke dalam konsep barat, dan menambah dua teori baru: "revolutionary dan developmental" (Merril, 1991:16-17).


Peranan Pers Daerah dalam Dinamika Pers Nasional
Masa pemerintahan Soeharto yang merupakan masa kediktatoran dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dan termasuk pers didalamnya. Pada saat itu, pers Indonesia tidak mempunyai kemerdekaan dalam pemberian informasi khususnya pemberitaan mengenai pemerintahan. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, pada rezim Soeharto tersebut di buat Departemen Penerangan yang menjadi momok media cetak Indonesia karena sering mengintimidasi dengan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal tersebut merupakan praktek umum di bawah rezim Orde Baru Soeharto, yang tertutup terhadap kritik dan tidak toleran terhadap perbedaan pandangan.

Namun akhirnya pasca tumbangnya Soeharto dan sistem pemerintahannya, pers di Indonesia mengalami masa liberalisasi. Pers tidak lagi mengalami kesulitan dalam pemberian informasi kepada khalayak Indonesia. Hanya saja saat ini meski pers Indonesia sudah tidak di jajah oleh pemerintah, namun di jajah oleh pihak-pihak pemegang saham atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi media itu sendiri. Adanya politik media yang terjadi di dalam lingkup pers baik nasional ataupun daerah, dapat menjadikan krisis pers seperti pada masa orde lama meski tidak serupa dan tidak kentara. Dengan era reformasi yang di pelopori oleh mahasiswa, terjaminlah kebebasan pers. Fungsi pers di Indonesia menjadi lebih optimal, meski terkadang tidak obyektif. Terjaminnya kebebasan pers, dewasa ini cenderung di salah gunakan oleh para praktisi media. Banyak kasus terjadi dengan mengatasnamakan kebebasan pers. Buntutnya, media yang tidak terlibat terkena damapaknya karena budaya Indonesia yang menganut asas ’stereotype’.

Peran pers dalam pembuatan opini publik juga sangat besar. Terlebih lagi bagi masyarakat dari kalangan yang kurang berpendidikan. Bagi kalangan ini, mereka menerima mentah-mentah apa yang mereka dengar atau yang mereka baca. Unsur ini terkadang di manfaatkan oleh para pelaku media. Menjadi suatu praktek umum di mana media massa di berbagai wilayah tak bisa beroperasi sebagai perusahaan yang sehat, tidak profesional, dan menunjukkan ketergantungan yang sangat besar pada dinamika yang terjadi dalam politik lokal (mulai dari soal langganan koran oleh kantor-kantor pemerintah, iklan ucapan selamat kepada pejabat, hingga berbagai bentuk suap lainnya). Dengan sedang ’in’ nya media massa dalam sistem kehidupan di Indonesia di tambah lagi dengan perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sentralisasi menjadi desentralisasi, berpengaruh juga pada perkembangan media di daerah. Banyak orang mendirikan pers di berbagai tempat, namun tak sedikit pula yang akhirnya menutup penerbitannya karena berbagai persoalan.

Media daerah ini terpaksa terlibat permasalahan politik ekonomi media agar tetap hidup dan berkembang. Padahal khalayak yang berada di daerah sangat bergantung atau berpanutan pada media-media yang ada di daerahnya masing-masing. Untuk itulah di perlukan independensi media daerah untuk bisa memberikan keobjektifan berita pada khalayaknya.

Namun bukan hanya pada kasus itu saja yang dapat di lihat dari perkembangan media di daerah. Peran pers daerah juga sangat berpengaruh pada segala sistem kehidupan, terutama pada sistem politik dan sistem pemerintahan daerah. Salah satu faktor keberhasilan PILKADA adalah karena keterlibatan besar pers daerah.

Pers daerah yang mayoritas merupakan anak dari media nasional atau pun mempunyai kerjasama dengan media nasional, tak dapat di pungkiri sudah dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pers nasional. Meski pers daerah tetap masih terkait dan tidak terlepas dari dinamika arus pers nasional, kemampuan pers daerah dalam memfungsikan peranannya sudah layak mendapatkan pengakuan. Pers daerah mampu berdiri sejalan dengan pers daerah untuk mengontrol sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia. Seyogyanya media daerah dan nasional mampu berperan dan menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai ciri mereka yang menganut keobjektifitasan dalam proses pemberitaan. Selain pers daerah di berikan hak dalam adanya kebebasan pers, pers daerah juga mempunyai tugas untuk mengontrol pemerintah daerah.

Pers Pancasila
Sesungguhnya istilah Pers Pancasila sudah dikemukakan oleh M.Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Alasan Wonohito untuk menampilkan apa yang ia sebutkan "Pancasila Press Theory", dapat disimak dari paparannya berikut ini.

"Sesungguhnya pers tidak dapat diangkat dari dan tidak dapat ditinjau lepas daripada struktur masyaraktnya. Membayangkan seakan-akan pers lepas dari sosiological context salah besar. Sama kelirunya apabila kita pura-pura tidak melihat adanya sociological determination, suratan sosiologis yang berlaku terhadap tiap-tiap lembaga kemasyarakatan. Oleh karena itu struktur sosial politik bersifat menentukan bagi corak, sepak terjang serta tujuan yang hendak dicapai oleh Pers. Dan karena struktur sospol dilandasi masyarakat, perspun berlandaskan atas dan mencerminkan falsafah masyarakat".

Dalam Pembahasannya tiu Wonohito menyinggung pula empat teori pers dari buku terkenal "Four Theories of the Press" yang ditulis oleh Fred S Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, keempat teori pers itu menurutnya bolehlah kita tambahkan satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory, sebab falsafah Pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam empat teorinya Siber, Peterson dan Schramm itu.
intisari keputusan sidang pleno xxv dewan pers mengenai pers pancasila itu, adalah sebagai berikut :
o Pers Indonesia
Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilan-nilai Pancasila dan UUD 1945.

o Pers Pembangunan
Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
o Hakikat Pers Pancasila

Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan funsi pers pancasila mengembangkan suasana sains percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab.

C. PERS dan SISTEM HUKUM
Antara pers dan sistem hukum ada keterkaitan yang erat sekali. Sistem hukum memberi peluang pers bertindak didalam rambu-rambu yang sudah disepakati sehingga pers berada pada titik ideal. Tanpa hukum, pers akan berkembang menjadi liberal.
Hukum dapat digunakan sebagai alat legitimasi pemerintah untuk mengawasi pers. Misalnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Bahwa UU pokok Pers pernah mengatur dan menjamin kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan, namun justru SIUPP (Permenpen No. 01/ Per/ Menpen 1984) menjadi alat membatasi kebebasan. Padahal, kedudukan SIUPP lebih rendah daripada undang-undang. Justru SIUPP yang dijadikan alat legitimasi.

Dalam perkembangannya penilaian atau interpretasi tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab berada di tangan pemerintah. Maka pasal ini dianggap “arogan” kerena pemerintah bisa secara sepihak membatalkan SIUPP.

Pada era Habibie, pemerintah menganggap SIUPP bukan zamannya lagi dan sangat “memperkosa HAM”. Sehingga SIUPP dicabut.
Masa eforia politik juga tidak menyelesaikan masalah itu. Hubungannya dengan pemberitaan berkembang menjadi trial by the press (pengadilan oleh pers). Trial by the press merupakan sebagai berita atau tulisan dengan gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Hal ini melanggar asas praduga tak bersalah dan menyulitkan tertuduh untuk memperoleh pemeriksaan pengadilan yang bebas dan tidak berpihak.

Pada saat yang sama, muncul minimnya self censhorsip media. Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan pakah pemberitaan itu layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat atau tidak. Ini yang diakibatkan orientasi pasar media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya.

D. FENOMENA KEBEBASAN PERS ORDE BARU
Pers menyandang atribut yang menyebabkan sering terpojok pada posisi yang dilematis. Disatu sisi tuntutan masyarakat mengharuskan memotret realitas sosial sehingga pers berfungsi sebagai alat kontrol. Namun pada posisi lain, sebagai institusi yang tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pes cenderung tidak vis a vis terhadap pemerintah. Ini artinya, pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang menjadi otoritas pemerintah. Inilah yang membuat pers binggung menentukan pilihan, antara kewajiban moral terhadap masyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan pemerintah sebagai konsekuensi logis.

Hal demikian tak ubahnya dengan mendikte pers yang telah kehilangan otonominya. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimanapun juga pers masih punya otonomi, salah satu kemampuan untuk bertahan hidup ditengah derasnya iklim demokrasi dan himpitan struktur yang harus ditaati.

Peringatan pemerintah Orde Baru muncul karena kepedulian pes pada kepentingan masyarakat. Pers mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai otonomi sendiri, sebab ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat.
Bagi masyarakat, pers berfungsi sebagai katarsis. Katarsis adalah kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis. Akan tetapi di lain pihak terbentur oleh ketidak mampuan untuk lepas dari keberadaan negara. Akibatnya berkembang teori : pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik (Meril dan Lowentein dalm Harsono Suwardi, 1993).

Fakta pertama, fungsi pers sebagai katarsis adalah melalui mana masyarakat menyalurkan uneg-unegnya, ketidakpuasan,protes, dan keomentarnya terhadap suatu kejadian. Jadi ketika masyarakat menginginkan perubahan, pers harus berperan aktif. Namun, pada posisi lain pes harus bisa berperan dalam menyampaikan kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat (F. Rachmadi, 1990).

Jadi pers sebagai katarsis maupun ketundukan pers pada sistem politik memaksa pers bersifat pasif dan kurang otonom. Karena dijadikan wahana tarik-menarik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah tanpa pers sendiri diberikan otonomi untuk memilih kebijakan yang diinginkan.

Related Posts:

Undang-Undang Tentang Pers

UU RI No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik *9980 tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.

BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Pasal 4
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Pasal 5
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.

Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal *9981 yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

BAB III
Wartawan
Pasal 7
(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.

Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.

Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Pasal 13
Perusahaan pers dilarang memuat iklan:
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.

BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
(2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g. mendata perusahaan pers.
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari:
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
(5) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
(7) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari:
a. organisasi pers; b. perusahaan pers; c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.

BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2815 ) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3235);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap *9984 Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala; dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan menempatnya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Related Posts:

Kode Etik Jurnalistik

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
Independen adalah membuat suatu berita sesuai dengan suara hati nurani, tidak ada paksaan, baik dari pihak lain maupun perusahaan pers.
Akurat adalah bisa dipercaya.
Berimbang adalah semua pihak mendapat kesempatan setara.
Tidak beritikad buruk adalah tidak ada niat untuk merugikan pihak lain secara sengaja.


Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran

Cara-cara profesional :
a. Menunjukan identitas diri kepada nara sumber
b. Menghormati hak privasi
c. Tidak menyuap
d. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas nara sumbernya
e. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang nara sumber dan ditampilkan secara berimbang
f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara
g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri
h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
Menguji informasi adalah melakukan check and redcheck mengenai kebenaran informasi itu
Berimbang adalah memberikan ruang dan waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional
Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan.
Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
Bohong adalah sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Fitnah adalah tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk
Sadis adalah kejam dan tidak mengenal belas kasihan
Cabul adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang dipeoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi nara sumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai kesepakatan.

Penafsiran
Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau deskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
Segera adalah tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak wajib dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
Hak wajib adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitahukan pers, baik tentang dirinya maupun orang lain.
Proporsional adalah setara dengan bagian serita yang perlu diperbaiki.

Related Posts:

Kejuaraan Dunia Pembuatan Pizza

Tengoklah aksi para jagoan pembuat pizza dari berbagai negara di dunia. Lomba ini diadakan di Salsomaggiore Terme, Italia utara, sejak 11 April -13 April 2011.



Kiyakazu Sanpei, of Japan, performs with his dough during the freestyle event, part of the Pizza World Championships, in Salsomaggiore Terme, northern Italy, Wednesday, April 13, 2011. The 20th edition of the Championships took place from April 11 to April 13. (AP Photo/Marco Vasini)



Patrick Miller, of the United States, performs with his dough during the freestyle event, part of the Pizza World Championships, in Salsomaggiore Terme, northern Italy, Wednesday, April 13, 2011. The 20th edition of the Championships took place from April 11 to April 13. (AP Photo/Marco Vasini)


Jay Schuurman, of the United States, performs with his dough during the freestyle event, part of the Pizza World Championships, in Salsomaggiore Terme, northern Italy, Wednesday, April 13, 2011. The 20th edition of the Championships took place from April 11 to April 13. (AP Photo/Marco Vasini)

Gaya Giuseppe Amendola asal Italia saat beraksi membuat pizza di Kejuaraan Dunia Pembuatan Pizza. (AP Photo/Marco Vasini

Lucian Vasile Leicu asal Romania tampil dengan adonan pizzanya saat kompetisi gaya bebas di Kejuaraan Dunia Pembuatan Pizza, di Salsomaggiore Terme, Italia utara, Rabu, 13 April 2011. Kejuaraan Dunia ini sudah menginjak tahun ke-20 dan berlangsung dari 11 April sampai 13 April. (AP Photo/Marco Vasini)

Dajki Yamamoto, of Japan, performs with his dough during the freestyle event, part of the Pizza World Championships, in Salsomaggiore Terme, northern Italy, Wednesday, April 13, 2011. The 20th Championships took place from April 11 to April 13. (AP Photo/Marco Vasini)




Related Posts:

Menghindari Jeratan Utang Kartu Kredit

Banyak masyarakat masih tak paham tentang cara bijak menggunakan kartu kredit sehingga pada akhirnya terjebak jeratan utang yang besar. Masyarakat juga belum paham mengenai hitungan bunga berbunga kartu kredit sehingga bisa menyebabkan tagihan melonjak.

Lonjakan tagihan kartu kredit itulah yang akhir-akhir ini mencuat kasusnya karena menyebabkan meninggalnya seorang nasabah kartu kredit. Adalah Sekjen Partai Pemersatu Bangsa (PPB) Irzen Octa (50) yang tewas dalam proses pelunasan kredit kepada debt collector Citibank.


Korban pada Selasa (29/3/2011) pagi mendatangi kantor Citibank untuk mempertanyakan tagihan kartu kreditnya yang membengkak. Menurut korban, tagihan kartu kredit Rp 48 juta. Namun pihak bank menyatakan tagihan kartu kreditnya mencapai Rp 100 juta. Di situ, korban kemudian dibawa ke satu ruangan dan ditanya-tanya oleh 3 orang yang merupakan 2 orang debt collector dan 1 orang karyawan bagian penagihan Citibank. Dalam proses tersebut, Irzen tewas dan polisi kini sedang melakukan investigasi.

Meninggalnya Irzen itu juga menimbulkan kegalauan masyarakat seputar perilaku jasa penagih utang atau debt collector yang acap kali berlaku kasar. Nasabah umumnya tidak nyaman karena terkadang debt collector berperilaku tidak manusiawi, sementara bank mengaku membutuhkan jasa tersebut untuk menyelesaikan piutangnya.

Bagaimana menghindari agar tagihan kartu kredit itu tidak membengkak? Dan bagaimana jika ternyata tanpa disadari pemakaian kartu kredit sudah melebihi kemampuan bayar? Berikut penjelasan dari Ketua Tim Mediasi Perbankan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, Sondang Martha Samosir yang ditemui detikFinance di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa (5/4/2011)

Belajar dari kasus kekerasan debt collector menurut anda mengenai hal ini? Bagaimana sebaiknya nasabah dan bank menyikapi tunggakan tagihan?

Sesuai dengan ketentuan transparansi produk, bank harus menyampaikan informasi jelas mengenai kewajiban yang akan dibebankan kepada nasabah akibat adanya tunggakan kredit nasabah.

Sebaiknya nasabah harus paham betul kewajiban yang melekat pada penggunaan kartu kredit sehingga apabila mempunyai tunggakan dan mengalami kesulitan pembayaran maka sebaiknya nasabah segera menghubungi pihak bank untuk menginformasikan hal tersebut dan mengajukan permohonan restrukturisasi misalnya perpanjangan masa pembayaran, pengurangan denda, atau bunga. Hal yang terpenting adalah itikad baik dari nasabah untuk melunasi kewajibannya.

Bagaimana harusnya nasabah menggunakan kartu kredit agar tidak terjerat tagihan yang tinggi?

Sebaiknya nasabah menggunakan kartu kredit secara bijak dan dewasa yaitu menggunakan sesuai keperluan dan kemampuan bayarnya dimana kartu kredit hanya berperan sebagai sarana penundaan pembayaran yang harus segera dilunasi pada waktunya.

Harus dipahami oleh nasabah memiliki kartu kredit bukan berarti memiliki tambahan penghasilan. Disamping itu nasabah juga perlu memperhatikan kelonggaran pendapatan/penghasilan yang digunakan untuk mengcover tagihan yang harus dibayar.

Setiap kali menggunakan kartu kredit untuk membayar sesuatu maku berarti nasabah telah menambah utang yang jika tidak segera dibayar akan ada penghitungan bunga yang ditanggung sebagai akibat terlambat membayar tagihan atau membayar kurang dari total tagihan.

Jadi yang perlu diingat adalah setiap kali menggunakan kartu kredit akan ada penambahan utang, usahakan melunasi sebelum jatuh tempo.

Apakah memiliki kartu kredit banyak itu baik?

Sebaiknya nasabah lebih dewasa dan bijak dalam memiliki kartu kredit dengan tetap mempertimbangkan tingkat kebutuhan dan kemampuannya untuk melunasi kartu kredit yang telah digunakan. Sehingga nasabah menyadari akan ada konsekuensi dari kepemilikan kartu kredit dibandingkan dengan kemampuan bayarnya.

Bagaimana BI menanggapi keluhan nasabah terkait debt collector ini?

Pihak bank dan nasabah harus memerhatikan etika dalam berbisnis dan mematuhi perundang-undangan yang berlaku. Didalam aturan kami sudah dijelaskan prinsip yang harus diacu dalam menjalankan kegiatan penagihan utang kartu kredit yaitu tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku antara lain dengan jelas melarang praktek kekerasan, ancaman, dan perlakuan tidak pantas lainnya dalam bernegosiasi. Walaupun bank menyerahkan pelaksanaan penagihan kepada pihak ketiga, namun tanggung jawab bank pemberi amanat.

Ketika nasabah merasa dirugikan bank apa yang sebaiknya dilakukan nasabah?

Nasabah perlu melakukan klarifikasi dengan bank terlebih dahulu. Dalam hal upaya penyelesaian di bank tidak memuaskan nasabah maka nasabah dapat mengajukan permohonan mediasi perbankan.

Jika ada masalah antara bank dengan nasabah bagaimana sebaiknya nasabah bersikap?

Sesuai PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana telah diubah dengan PBI No.10/10/PBI/2008 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, nasabah dapat menyampaikan pengaduan permasalahannya kepada bank. Selanjutnya, dalam hal tidak puas dengan penyelesaian di bank, nasabah dapat mengajukan permohonan mediasi perbankan (apabila sengketa memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam PBI No.8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008).

Apakah betul jika seseorang menggunakan jasa pengacara jalanan atau street lawyer dalam pelunasannya?

Menggunakan jasa pengacara merupakan hak setiap warga negara, namun demikian perlu dipertimbangkan berbagai aspek sebelum menggunakan jasa pengacara tersebut. Disamping itu, penyelesaian pelunasan antara nasabah dengan bank pada umumnya tergantung dari hasil negosiasi antara nasabah dengan bank dimana pemberian/penolakan restrukturisasi merupakan kewenangan bank sepenuhnya.

Apa saran-saran anda ketika cebt collector datang ke nasabah?

Sampaikan permasalahan kesulitan pembayaran yang dihadapi dengan santun, dan tetap menyempaikan adanya itikad baik nasabah untuk melunasi utangnya.

Dan apa yang harus dilakukan sebelum debt collector datang ke nasabah?

Nasabah sebaiknya melakukan komunikasi yang baik dengan pihak bank mengenai permasalahan kesulitan pembayaran yang dihadapi dan mengajuka negosiasi pembayaran tagihan.

Tanggapan anda mengenai kartu kredti, apa yang harus disiapkan nasabah pertama kali sebelum menggunakan kartu kredit?

Urgensi dari penggunaan kartu kredit tersebut. Artinya, nasabah perlu bersikap bijaksana untuk menentukan apakah transaksi dengan kartu kredit diperlukan atau tidak. Dalam prakteknya, nasabah menggunakan kartu kredit dengan alasan untuk memperoleh diskon atau kemudahan pembayaran cicilan pada suatu produk. Hal tersebut perlu dipertimbangkan lagi oleh nasabah mengingat risiko pembebanan bunga maupun denda yang terus melekat pada setiap transaksi yang telah dilakukan dengan menggunakan kartu kredit. (www.detikfinance.com)

Related Posts: