Vonis Hakim Terhadap Dirut Radio Erabaru Diskriminatif

Batam- Direktur Utama Radio Erabaru Batam, Gatot Supriyanto menilai bahwa putusan hakim Pengadilan Negeri Batam yang memutuskan perkaranya aneh, janggal dan membias. Dakwaan kedua yang digunakan majelis hakim yang diketuai oleh Haswandi SH MH, menyatakan bahwa Radio Erabaru telah terbukti menimbulkan gangguan elektromagnetik dan gangguan fisik terhadap Radio Sing FM di Batam. Hal ini berbeda dengan yang dijadikan oleh Jaksa Penuntut Umum yang mempermasalahkan perijinan Radio Erabaru Batam.


"Ada apa dibalik ini? Padahal fakta-fakta sangat jelas dan terang benderang, bahwa adanya unsur intervensi dari Kedubes China agar radio ini ditutup. Sangat jelas sekali melalui fakta-fakta yang terkuak di persidangan maupun bukti-bukti," ujar Gatot mempertanyakan.

Ia menegaskan bahwa Radio Erabaru mengalami diskriminasi. Hal ini mengingat keberadaan radio-radio di Batam dan bahkan di seluruh Indonesia yang berstatus sama seperti Radio Erabaru, tidak diproses hukum alias tidak didakwa pidana. Radio Erabaru justru mengalami pembredelan dengan dalih seolah-olah radio ini telah melanggar pasal 55 jo 38 tahun UU No. 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. Radio Erabaru dianggap telah terbukti menimbulkan gangguan elektronmagnetik dan gangguan fisik terhadap Radio Sing FM dan mengantarkan hakim memvonis dirinya 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun dan denda Rp. 50 juta subsider 3 bulan penjara. Padahal kenyataannya Radio Erabaru telah mengudara di frekuensi 106.5 MHz, sejak 2005 sampai sekarang. Mengudara sambil menunggu proses kasasi di MA.

"Jika dibilang mengganggu terbilang aneh, karena Radio Sing FM ISRnya (Ijin Stasiun Radio-red) masih kasasi dan belum ada putusan tetap," ujarnya.

Bahkan menurutnya, kalau dibilang siaran Radio Erabaru telah menimbulkan gangguan elektronmagnetik dan gangguan fisik terhadap radio Sing FM, justru kebalikannya karena Radio Erabaru telah terganggu dengan adanya siaran Radio Sing FM di frekuensi tersebut. Soalnya Radio Erabaru telah menggunakan frekuensi tersebut sejak lama dan Radio Sing FM menggunakan frekuensi lain, tidak pernah di frekuensi 106.5 MHz.

Frekuensi yang digunakan oleh Radio Erabaru saat ini sesuai dengan surat dan rekomendasi kelayakan yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepri pada 2006. Belakangan frekuensi 106.5 MHz yang digunakan Radio Erabaru malahan oleh Depkominfo diberikan kepada radio lain di Batam, yakni Sing FM. Terhadap hal ini Radio Erabaru pun telah melakukan gugatan Ijin Stasiun Radio (ISR) terhadap Dirjen Postel di PTUN Jakarta. Gugatan ini dikabulkan oleh PTUN dan pihak Dirjen Postel melakukan kasasi yang belum ada putusan hingga saat ini.

Oleh karena itulah putusan tersebut dinilai tidak menjunjung tinggi keadilan dan diskriminatif. Menurut Gatot permasalahan Radio Erabaru bukan semata-mata carut marut perijinan dan frekuensi, namun lebih besar dari itu, yakni adanya kekuatan asing yang ‘bermain’ campur tangan terhadap keberadaan Radio Erabaru yang berkedudukan di Indonesia.

“Ada ‘tangan-tangan hitam’ yang bermain dan mengintervensi Radio Erabaru sejak awal, yakni pemerintah partai komunis China (PKC), yang tidak mau kejahatan kemanusiaan di negerinya diberitakan oleh Radio Erabaru,’’ tegas Gatot usai sidang kasus Radio Erabaru di Pengadilan Negeri Sekupang hari ini, Selasa (6/9).

Sepucuk surat dari Kedutaan besar China pada medio 2007 adalah yang ia maksud. Surat yang ditujukan ke lembaga negara, seperti Departemen Luar Negri, Komisi Penyiaran Indonesia, Departemen Dalam Negeri, Badan Intelegen Negara itu berisikan desakan agar Pemerintah Indonesia menutup siaran Radio Erabaru di Batam. Pasalnya PKC tidak mau kejahatan dan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM) di negerinya diberitakan oleh radio yang bersegmen mandarin ini. Memang negeri tirai bambu ini menyandang predikat sebagai Negara Pelanggar HAM terberat sedunia. Beragam tragedi kemanusiaan berlangsung di negeri yang dikuasai Partai Komunis China ini. Tengok saja, maraknya produk-produk palsu yang berbahaya, penindasan dan penganiayaan terhadap para aktivis demokrasi. Ada lagi penyiksaan keji terhadap para praktisi yang berlatih Falun Gong, yang diambil organnya hidup-hidup untuk dijadikan industri transplantasi organ illegal. Beragam genosida terhadap etnis minoritas, kaum agamawan dan masih banyak lagi.

“Media memberitakan kejahatan, kok malah saya yang dihukum. Sudah semestinya sebagai media publik, informasi-informasi itu justru harus diketahui, agar peristiwa-peristiwa tidak berperikemanusiaan itu, tidak terus berlangsung,” tambah Gatot.

Namun dalam putusan perkara nomor. 180 / Pid.B / 2011 / PN.BTM yang dibacakan oleh Haswandi SH MH, ketua Majelis Hakim selama 40an menit itu, tidak mempertimbangkan permasalahan intervensi dari PKC itu. Padahal fakta-fakta dalam persidangan sangat jelas, bahwa besarnya tekanan dari Kedubes China itu telah menggagalkan proses perijinan yang ditempuh Radio Erabaru tanpa alasan yang jelas. Bahkan atas ditolaknya pengajuan perijinan tersebut, Radio Erabaru telah mengajukan gugatan terhadap Menteri Komunikasi dan Informatika di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang saat ini pun masih Kasasi di Mahkamah Agung dan belum ada keputusan tetap.

“Kami akan melakukan banding atas keputusan hakim itu,” pungkas Gatot. (*)

Related Posts: