2000 Tahun Pergantian Dinasti China Diakibatkan Cuaca Dingin

Jurnal “Proceedings of the Royal Society, Series B: Biological Sciences” pada 13 Juli lalu menerbitkan sebuah artikel penelitian berjudul “Periodic climate cooling enhanced natural disasters and wars in China during AD 10 – 1900” yang menyebutkan bahwa selama periode 10 – 1900 Masehi.

Bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim secara periodik telah mengakibatkan pergantian dinasti China selama hampir 2.000 tahun, di antaranya kehancuran dan keruntuhan dinasti Han, Tang, Song Utara, Song Selatan, Ming, dan lain-lain sangat erat hubungannya dengan perubahan iklim yang menjadi dingin, periodik perubahan itu juga berhubungan dengan perubahan periodik gerak peredaran matahari atau perubahan periodik posisi orbit bumi.


Thesis tersebut juga menyebutkan, baik serangan dari luar maupun kekacauan dari dalam, sama sekali bukan disebabkan oleh faktor yang dikenal sebelumnya seperti feodalisme, perseteruan kasta, atau pun tidak becusnya suatu dinasti, melainkan diakibatkan oleh iklim yang dingin.

Penelitian menemukan bahwa frekuensi peperangan, harga beras, wabah belalang, frekuensi musim kemarau, frekuensi banjir, dan suhu rendah, telah menunjukkan bahwa terdapat dua jenis perubahan periodik utama, yang senantiasa silih berganti dalam tenggang waktu 160 tahun atau 320 tahun.

Suhu rendah berhubungan langsung dengan serangan oleh suku pengembara dari utara pada Dinasti Han; sementara musim kemarau dan wabah belalang berhubungan langsung dengan perang saudara. Sejak 2.000 tahun silam hasil panen bahan pangan selalu tidak stabil pada masa musim dingin, yang secara langsung memengaruhi perang saudara di dalam negeri China atau serangan oleh suku pengembara dari utara, yang semakin memperluas perseteruan di tengah masyarakat.

Hal yang sama juga terjadi pada zaman es kecil, Eropa menderita bencana banjir dan wabah kelaparan yang paling parah sepanjang sejarah, kerajaan Rowawi dan Maya yang sempat berjaya juga ikut tercerai berai pada periode dingin itu dan akhirnya menemui kehancuran.

Penelitian terhadap hubungan antara guncangan dalam masyarakat Tiongkok kuno dengan perubahan iklim sudah bukan bahan baru lagi. Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perang di masa lalu dan kemelut di tengah masyarakat selalu ada hubungannya dengan cuaca dingin. Pada zaman Tiongkok kuno, perubahan iklim ke cuaca dingin akan memicu kekeringan atau banjir, yang disusul dengan wabah belalang.

Oleh karena itu, cuaca dingin mungkin secara langsung ataupun tidak langsung akan merusak hasil produksi pangan, yang kemudian menyebabkan perang yang bersifat pemberontakan pada sebuah dinasti, yang disebut “teori perang saudara”. Di sisi lain, suhu udara yang semakin rendah juga semakin memperpendek masa pertumbuhan rumput pakan ternak di padang rumput di wilayah utara, dan menghambat produksi hewan ternak sehingga memaksa suku pengembara untuk pindah ke wilayah selatan di musim dingin, inilah yang disebut dengan “teori invasi ke selatan”. Namun kedua teori tersebut sama sekali belum pernah dilakukan penelitian sepadan sebelumnya.

Uniknya penelitian ini terletak pada penggunaan metode analisa matematis yang numeristik (metode fungsi relativitas dan analisa wavelet), dengan melakukan analisa statistik secara mendetail terhadap suhu udara, bencana alam, harga beras, dan data peperangan sejak 10 - 1900 Masehi, hingga akhirnya diperoleh kesimpulan demikian.

Penelitian tersebut mengambil data sehubungan dengan frekuensi peperangan, musim kemarau, dan banjir, dari pemilahan di Universitas Jinan sejak 1939 berdasarkan buku sejarah mulai dari 246 SM hingga 1913 Masehi, yang dipilah sedemikian rupa dalam kurun waktu tiap 10 tahun. Data suhu udara setiap 10 tahun sekali didapat dari pembentukan ulang iklim di masa lampau di berbagai daerah, mulai dari inti es (冰芯), lingkar tahun pada pohon, endapan di dasar danau, serta catatan sejarah. Data wabah belalang disadur dari karya tulis kuno berdasarkan urutan tahun. Data untuk harga pangan juga disusun berdasarkan data sejarah dalam jumlah besar.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan, perubahan iklim secara periodik mungkin adalah penyebab semakin tingginya frekuensi invasi suku asing sejak 10 - 1900 Masehi, yang memperkuat “teori invasi ke selatan” dengan tenggang waktu selama 320 tahun dalam satu periode. Serangan suku asing sebagian besar dilakukan oleh suku pengembara dari utara. Dari satu dinasti ke dinasti lain, wilayah utara Tiongkok semakin mudah terkena dampak dari perubahan iklim dingin ini.

Menurut pemahaman, setiap dua derajat menurunnya suhu udara, masa tumbuhnya rerumputan akan berkurang 40 hari, yang dapat mengakibatkan pengaruh sangat buruk di padang rumput, dengan demikian krisis pakan ternak tersebut akan berefek langsung terhadap produktivitas hewan ternak, sehingga suku pengembara terpaksa harus mengungsi ke selatan. Selama periode musim dingin sepanjang sejarah kuno Tiongkok, tercatat perpindahan suku pengembara dari utara dalam skala besar. Kehancuran dinasti Han, Tang, Song utara, Song selatan, serta Ming, erat hubungannya dengan suhu rendah atau drastisnya penurunan suhu udara, sehingga dengan cepat akan tergantikan oleh kekuasaan dinasti asing.

Hasil penelitian juga menjelaskan, sejak tahun 950 - 1900 masehi, iklim yang berubah dingin mengakibatkan semakin seringnya terjadi kemarau panjang dan wabah belalang, yang secara tidak langsung menyebabkan meningginya frekuensi terjadinya perang saudara, yang mendukung “teori perang saudara”. Di masa kuno Tiongkok, musim kemarau, banjir dan wabah belalang dipandang sebagai 3 faktor alam utama yang dapat memengaruhi produktifitas pangan. Hal ini berarti buruknya produktifitas pangan mungkin dapat memicu terjadinya kudeta.

Penelitian ini juga memaparkan bukti numerik yang memperkuat teori ini. Pendapat bahwa kekeringan dan wabah belalang memiliki hubungan langsung telah diakui secara luas di Tiongkok, karena akan mengakibatkan semakin banyaknya tepian basah atau pinggiran danau yang sangat cocok untuk menetaskan telur bagi serangga. Perang saudara dan wabah belalang berhubungan secara langsung dengan periode setiap 160 tahun. Hal ini menandakan, suhu rendah mungkin secara langsung atau tidak langsung dapat merusak pertanian, dan selama periode dingin akan terjadi lebih banyak lagi kekeringan dan bencana banjir. Data menunjukkan, pada abad ke-9 dan 11 yang hangat sangat jarang terjadi banjir, sementara di abad ke-14 dan 17 yang dingin, lebih banyak banjir yang terjadi.

Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa harga beras memiliki hubungan yang sangat erat dengan perang saudara dan invasi oleh suku asing. Harga beras adalah suatu mistar pengukur yang baik akan ketersediaan pangan, yang berarti pula krisis pangan yang ditandai dengan tingginya harga beras berefek sangat krusial di tengah perseteruan yang terjadi di masyarakat Tiongkok kuno.

Pada zaman Tiongkok kuno, keadaan yang sangat memungkinkan adalah, cuaca dingin menyebabkan sering terjadi bencana akan cuaca dan pertanian, yang kemudian menjadi pemicu musibah akibat ulah manusia.

Penelitian menunjukkan, suhu rendah secara drastis telah meningkatkan frekuensi terjadinya kekeringan dan bencana banjir, yang kemudian disusul dengan wabah belalang. Di zaman Tiongkok kuno, suhu rendah tidak hanya akan secara langsung menyebabkan merosotnya hasil produksi pertanian dan peternakan, juga menyebabkan lebih sering terjadinya kekeringan, banjir, dan wabah belalang, yang kemudian secara tidak langsung akan memengaruhi produktifitas pangan. Sementara merosotnya produktifitas pertanian dan peternakan akan mengakibatkan terjadinya perang saudara atau invasi oleh suku asing.

Penelitian juga menemukan bahwa perubahan periodik 160 tahun atau 320 tahun ada kaitannya dengan perubahan periodik pergerakan matahari atau perubahan periodik posisi orbit bumi. (www.epochtimes.co.id)

Related Posts:

0 Response to "2000 Tahun Pergantian Dinasti China Diakibatkan Cuaca Dingin"

Posting Komentar