Kisah Sebuah Bingkai Foto

Ketika saya sedang kuliah, karena universtias tempat kuliah saya terlalu jauh, saya menyewa rumah di Taipei. Pada saat itu saya sangat beruntung, dengan segera saya mendapat suatu tempat yang harganya lumayan murah.

Di sebuah rumah berlantai 3 saya tinggal di lantai 2. Ketika saya pindah ke rumah tersebut, demi sopan santun saya pergi ke lantai bawah dan atas tetangga saya memperkenalkan diri.


Di lantai dasar tinggal seorang nenek pemilik rumah berusia kurang lebih 70 tahun. Nenek ini walaupun badannya masih sehat, tetapi matanya sudah rabun, kebanyakan waktunya duduk di depan teras atau memasak di dapur, hmm, baunya sangat enak!

Di lantai 3 tinggal sepasang suami istri yang masih muda. Suaminya bermarga Liu, dia adalah seorang pengusaha, kelihatannya pengusaha yang sukses, di surat kabar sering ada beritanya. Orangnya sangat ramah, ketika mengetahui saya suka fotografi, dia memperkenalkan teman karibnya Tuan Yang yang mempunyai sebuah photo studio, yang mengatakan jika saya pergi ke tempatnya akan diberi discount. Sedangkan istrinya adalah seorang ibu rumah tangga bernama Xiaowen, orangnya agak pendiam, saya tidak mempunyai kesan yang agak mendalam terhadapnya.

Sejak pertama kali berkunjung, saya jarang bertemu dengan mereka lagi, jarang mengobrol dengan mereka karena kesibukan menghadapi masalah kuliah dan lain-lain, saya mana ada waktu ngerumpi dengan para tetangga.

Saya orangnya tidak begitu pintar, ayah ibu saya 2 hari sekali telepon mengingatkan saya belajar dengan rajin, karena tidak ada yang mengawasi saya di Taipei, saya jadi malas belajar, saat rapor dikirim ke orangtua saya, mereka kecewa akan nilai saya, sehingga tidak berapa lama kemudian ayah saya menginginkan saya tinggal di rumah temannya, katanya dengan demikian ada yang bisa mengawasi saya, karena tidak dapat membantah perintah dari ayah, walaupun enggan terpaksa harus mengikutinya.

Pada hari terakhir di rumah kos saya, pada saat itu adalah hari minggu, setelah semua barang telah selesai dikemasi, saya sebenarnya ingin mengambil buku kuliah saya membaca, tetapi setelah berpikir besok sudah harus pindah, pikiran saya tidak tenang akhirnya saya batal mengambil buku kuliah, malahan mengambil sebuah majalah, saya ingin membacanya di teras. Tidak berapa lama kemudian saya memandang keluar, tidak disangka….

Sepasang sepatu sport putih melayang turun di depan mata saya!

Sebenarnya sepatu itu dilempar dari tingkat 3 ke lantai dasar!

Karena rasa heran, saya memutuskan turun kelantai bawah melihat keadaan. Setelah di lantai bawah didepan kedai nenek, nenek melihat wajah saya yang terheran-heran sambil tertawa berkata, “ Orang di tingkat 3 mulai bertengkar, setiap bertengkar, tuan Liu akan menghindar di teras, istri tuan Liu semakin lama semakin marah mengambil barang melempari suaminya, tetapi kebanyakan tidak kena tuan Liu, terjatuh kebawah. Kenapa? Terkejut ya sampai tidak bisa berbicara?”

Saya benar-benar terkejut!

Tidak disangka istri tuan Liu yang kelihatannya lemah lembut tenaganya cukup kuat, dan tuan Liu yang agak gemuk seperti bermain tennis dapat menghindari bolanya.

Nenek dari lemarinya mengeluarkan sebuah kantongan besar, didalamnya banyak benda seperti, buku, CD, remote tv dan lain lain.

“Istri tuan Liu sebenarnya orangnya baik, tetapi temperamennya agak tinggi, bisa mendapatkan suami yang demikian baik seharusnya harus bersyukur. Pasti karena sejak kecil tidak dididik dengan baik oleh ibunya.” Sambil berkata nenek ini menggelengkan kepalanya dan menghela nafas.

“Jangan berkata demikian, tuan Liu dapat memilihnya berarti dia pasti baik, saya pikir ibunya tentu adalah seorang yang luar biasa.” Saya berkata, saya beranggapan nenek tua ini juga seorang yang baik, bisa membantu mereka menyimpan barang-barang yang begitu banyak yang dilempar dari tingkat 3.

Tiba-tiba saya melihat ada sebuah bingkai photo yang pecah, foto didalam bingkai ini kelihatannya sudah tua, didalam foto seorang wanita paruh baya sedang menggandeng seorang anak gadis yang berusia sekitar 8 tahun, mereka berdua tertawa dengan bahagia.

Nenek tua ini setelah melihat foto didalam bingkai ini, menangis dengan sedih.

Akhirnya saya mengerti, nenek tua ini adalah ibu dari nyonya Liu, didalam foto adalah foto mereka berdua. Saya bersandar disebuah kursi, tidak tahu harus mengatakan apa? Setelah mengusap air matanya, dengan perlahan-lahan nenek ini bercerita.

“Saya telah lama bercerai dengan ayah Xiaowen, pada waktu itu Xiaowen baru duduk dikelas 2 SD, sejak kecil tabiat Xiaowen sudah jelek, seperti ayahnya. Oleh sebab itu kami bercerai, pada waktu itu saya tidak mempunyai pekerjaan, saya tahu perekonomian saya akan susah, tetapi supaya Xiaowen tidak melihat saya setiap hari dipukuli ayahnya saya memutuskan bercerai. Setelah bercerai kami hidup dengan susah, karena saya miskin pada waktu kecil tidak sekolah, oleh sebab itu tidak bisa mencari pekerjaan yang bagus. Akhirnya saya bekerja di dua restoran, dengan susah payah kami dapat hidup, demi uang sekolah Xiaowen sehari saya hanya makan sekali, Xiaowen sangat pintar selalu menjadi juara kelas.”

Ketika bercerita sampai disini saya melihat nenek tua ini sangat bangga, sangat bahagia.

“Tetapi, sangat sayang ketika duduk di SMA dia bergaul dengan teman-teman berduit. Setiap hari kerjanya bermain dan membeli barang-barang bermerk. Saya menasehati dia, dia tidak mau menerima, akhirnya sampai tidak sekolah, saya sangat sedih, pada suatu malam, dia meminta duit untuk membeli minyak wangi. Kebetulan pada hari itu saya kecopetan didalam bus dan kehilangan uang 5000 Yuan, saya sudah sangat sedih, lalu memarahi Xiaowen, tetapi dia tidak terima akhirnya bertengkar dengan saya, dia lalu meninggalkan rumah. Saya berpikir setelah dia tidak marah lagi pasti akan pulang, tetapi tidak disangka dia telah pergi selama 12 tahun.”

Saya tidak mempunyai uang untuk mencarinya, oleh sebab itu setiap malam saya menangis sampai mata saya rusak, dan saya dipecat dari restoran akhirnya saya hanya bisa bekerja sebagai penyapu di jalanan hanya cukup untuk uang makan saya. Pada suatu hari saya melihat di sebuah koran, seorang pengusaha muda menikah dengan Xiaowen, lalu saya pergi mencari dia, tetapi saya diusir olehnya, tetapi menantu saya setelah mengetahui riwayat saya malahan tidak menghina saya dan membantu saya membeli rumah di tingkat bawah.

Saya menyerahkan bingkai foto ini kepada menantu saya mengharapkan putri saya ketika suasana hatinya sedang gembira bisa melihat foto ini, mengingat ibunya, dulu kami sangat miskin tidak ada uang untuk berfoto, ini adalah satu-satunya foto kami berdua, tetapi akhirnya bingkai foto ini dilempar keluar ketika mereka bertengkar.”

Nenek ini memandang foto ini dengan sedih.

“Sebenarnya tinggal dimana tidak masalah bagi saya, asalkan dapat bersama dengan Xiaowen. Tetapi sampai sekarang Xiaowen masih marah kepada saya, tidak mau bertemu dengan saya, akhirnya saya hanya bisa setiap hari memandang punggungnya ketika dia pergi keluar rumah. Dengan demikian saya sudah puas, sebenarnya menantu saya sangat sayang kepada Xiaowen, dia juga seorang yang pintar, tidak berapa lama lagi mereka sudah akan pindah ke Boston. Setelah Xiaowen pindah, saya akan sendirian lagi…”

Nenek mulai menangis lagi, sambil menahan air mata saya, dengan diam-diam saya naik ke kamar saya. Saya membawa bingkai foto yang hancur ini, sambil mengayuh sepeda saya pergi ke studio photo tuan Yang, meminjam komputer dan perangkatnya , studio foto hendak pindah ke tempat lain, barang-barang dalam studio sedang berantakan, tetapi tuan Yang dengan ramah membantu saya mencari peralatan yang saya perlukan.

Saya tahu yang bisa saya kerjakan hanya begini, tetapi saya akan mencoba berbuat semaksimal yang bisa saya lakukan.

Keesokan harinya, saya sibuk pindah rumah, saya tidak melihat nenek, didalam hati merasa heran. Tetapi karena kesibukan saya dengan cepat saya melupakan hal tersebut.

Tiga tahun kemudian, dengan ajaib saya bisa tamat, dan mendapat sebuah pekerjaan yang lumayan bagus di Taipei.

Pada suatu hari minggu, ketika selesai makan siang dengan teman saya, tiba-tiba teringat kepada rumah sewa dahulu, teringat kepada nenek, saya akan pergi mencarinya.

Setelah menghentikan mobil saya didepan rumah sewa dahulu, perlahan-lahan saya berjalan kelantai dasar.

Eh.. lantai bawah berubah menjadi studio foto, studio foto tuan Yang, rupanya dia sudah pindah ke sini! Setelah memasuki studio saya melihat studionya cukup laris, dan design sudah berubah.

“Selamat datang” pelayan toko dengan ramah menyapa saya.

Saya telah ingin membuka mulut, tiba-tiba dari arah belakang saya mendengar suara tuan Yang dengan gembira menyapa saya.

“Mari, silahkan duduk, sudah lama tidak ketemu! Bagaimana kabarnya? Apakah sudah tamat? Apakah sudah menikah? Kerja dimana?” Sambil menikmati teh yang disajikan tuan Yang perlahan-lahan saya menjawab pertanyaannya satu persatu.

Setelah lewat setengah jam, tiba-tiba tuan Yang sambil memegang kepalanya berkata, “Aduh, hampir lupa! Tuan Liu meninggalkan sepucuk surat untukmu, dikirim dari Amerika.”

Saya terbengong sesaat, kemudian saya teringat kepada tuan Liu yang tinggal ditingkat 3 yang sering bertengkar dengan istrinya.

Isi suratnya sebagai berikut,

“Saya tidak mengetahui nama anda, juga tidak tahu anda pindah kemana? Oleh sebab itu saya hanya bisa mengalamatkan surat ini kepada tuan Yang, mengharapkan suatu waktu engkau akan mengunjungi studionya, sebenarnya saya tidak tahu saya harus menulis dengan perkataan apa untuk mengucapkan terima kasih kepadamu.

Pada minggu pagi itu, ketika istriku Xiaowen akan pergi keluar berbelanja, begitu keluar dari pintu rumah, dia melihat sebuah amplop yang ditujukan kepada dirinya, pada waktu itu dia masih sangat marah, tanpa memperdulikan amplop ini berasal dari siapa dia langsung membukanya. Saya sedang membaca di ruang tamu, saya melihat istri saya berdiri di pintu rumah sudah lama, seluruh badannya gemetar. Saya lari kedepan pintu, saya takut dia sakit, saya melihat dia sedang menangis, di tangannya sedang memegang sebuah bingkai foto, air matanya membasahi seluruh wajahnya, saya mengenal bingkai photo tersebut, itu adalah bingkai foto hadiah dari mertua saya, yang saya letakkan diatas piano, sedangkan istrinya tidak ingin memandang foto itu sekejabpun, akhirnya suatu hari dia melempar bingkai photo itu.

Setelah saya perhatikan dengan teliti, bingkai photo tersebut telah diperbaiki, sedangkan photo didalamnya juga sudah berubah. Pada mulanya adalah photo istri saya ketika berumur 12 tahun, tetapi ini adalah foto dia sekarang, sedangkan ibu disampingnya juga seperti sekarang ini. Yang tidak berubah adalah didalam foto ini ibu dan anak tetap bergandengan tangan dan mereka berdua tersenyum dengan bahagia.

Diatas bingkai foto ini ada sebuah memo kecil tertulis, “Ibumu setiap hari mengharapkan photo ini menjadi mimpi yang menjadi kenyataan. Dia selalu bangga kepadamu, seharusnya engkau juga harus bangga kepada ibumu.”

Pada malam itu istri saya pergi kelantai bawah,sambil menangis memeluk ibunya dan berkata, “Mama, maafkan saya.”

Mereka berdua menangis dengan sedih, kebencian selama puluhan tahun segera lenyap. Sejak hari itu hubungan mereka menjadi baik, mereka selalu pergi berjalan-jalan, tabiat Xiaowen juga menjadi baik, kami tidak pernah bertengkar lagi, kami sekeluarga sungguh ingin mengucapkan terima kasih kepadamu, tetapi karena engkau sudah pindah rumah, dan kami sekeluarga dengan mengajak nenek juga sudah pindah ke Boston, saya meninggalkan surat ini kepadamu mengharapkan suatu hari engkau bisa membacanya. Ini alamat email saya. Jika engkau sudi kami sekeluarga ingin mengundangmu bermain ke Amerika, saya akan menyediakan tiket untukmu, disana kami sekeluarga dapat mengucapkan terima kasih kepadamu.”

Didalam surat ini masih ada selembar foto, di latar belakang foto ini adalah Boston yang sedang turun salju, Xiaowen dan ibunya dengan bergandengan dan tersenyum dengan bahagia dan tulus.

Persis seperti foto yang saya perbaiki dengan teknis komputer menggunakan photoshop 3 tahun yang lalu, tetapi foto ini adalah foto asli, kebahagiaan Xiaowen dan ibunya juga tulen… Walaupun Boston sedang turun salju dan dingin, tetapi kehangatan terlihat diwajah kedua orang didalam photo ini.

Dengan tergesa-gesa saya meninggalkan studio foto, takut tuan Yang melihat airmata saya. Diseberang jalan saya melihat seorang ibu sedang bergandengan tangan berjalan sambil bercanda dengan putrinya. Persis seperti Xiaowen dan ibunya. (www.erabaru.net)

Related Posts:

0 Response to "Kisah Sebuah Bingkai Foto"

Posting Komentar