Revolusi Melati: Tiongkok dan Demokrasi

Selama sepekan lalu, sejak awal Maret 2011, Partai Komunis Tiongkok (PKT) menggelar Kongres Rakyat Nasional untuk mendiskusikan rencana nasional dalam lima tahun ke depan. Pertemuan tahunan ini menjadi menarik di tengah tuntutan reformasi politik di dalam negeri sebagai imbas dari Jasmine Revolution yang melanda Timur Tengah. Dan, biasanya acara semacam ini dianggap sebagai momen sensitif dalam kalender politik Tiongkok.

Sudah pasti PKT telah merespon krisis politik yang terjadi di Mesir, Tunisia dan Lybia dalam pertemuan itu meski sikap rezim komunis sebelumnya sudah jelas. Ia tidak ingin revolusi melati merembet ke negerinya.


Presiden Tiongkok Hu Jintao sudah menginstruksikan pengendalian ketat terhadap media, internet dan aktivis HAM. PKC memastikan siap melumat gerakan massa pro demokrasi dengan dalih apapun. Untuk menahan laju reformasi, polisi menangkap puluhan aktivis dan jurnalis yang menuntut perubahan.

Untuk menanggulangi gejolak politik, PKT mencanangkan program baru yang bertujuan “memakmurkan” dan mengurangi kesenjangan pendapatan warga. Dalam program baru itu ia akan menaikan anggaran untuk kesejahteraan sosial. Bersamaan itu, ia juga mencanangkan peningkatan anggaran untuk kepolisian, pengadilan, kejaksaan, dan militer menjadi 95 miliar dollar AS. Tujuannya jelas, agar segala bibit perlawanan rakyat bisa diredam. Pejabat senior Tiongkok Wu Bangguo memastikan negaranya tidak akan menjadi negara demokrasi multi-partai atau mendukung reformasi politik gaya Barat.

Kata kunci - Stabilitas

Sejak PKT berkuasa pada 1949, sepertinya ia cukup teruji dalam mengatasi krisis politik yang melandanya. Berbagai gejolak politik yang muncul berhasil diatasinya dengan tangan besi. Semua rakyatnya harus tunduk pada kepemimpinan partai. Krisis ideologi yang menghancurkan komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur pada akhir 1980-an pun berhasil dilewatinya sehingga idelogi Marxis-Leninis bisa tetap bertahan di Tiongkok.

Gelombang gerakan reformasi dan demokrasi yang ditutut para mahasiswa di lapangan Tiananmen Beijing pada 1989 dibalas dengan tembakan hingga menelan korban. Tragedi berdarah tersebut seolah menjadi titik balik bagi partai tunggal yang berkuasa itu untuk terus memperkuat serta menyesuaikan diri dengan tuntutan ekonomi global. Proses depolitisasi berjalan intensif, posisi partai makin dominan melebihi masa awal kekuasaan Deng Xiaoping.

Saat itu PKT bisa melawan arus demokratisasi yang melanda dunia, dengan merangkul ekonomi pasar bebas. Privatisasi besar-besaran tak terelakkan, disusul membanjirnya investasi asing. Di sini peran Deng Xiaoping dalam menjalankan modernisasi, reformasi ekonomi dan perdagangan secara ekstensif, sangat dominan. Kapitalisme dengan peran negara yang dominan berhasil mengatrol ekonomi Tiongkok, ia pun berhasil melewati masa kritis ekonomi.

Alhasil dunia terkejut tatkala Tiongkok secara ajaib, menjadi penyangga ekonomi saat krisis moneter pada 1997-1998. Pertumbuhan ekonominya sangat mencengangkan mencapai 9-10% per tahun. Dalam rentang waktu 10 tahun, ia mampu menunjukkan dirinya sebagai kekuatan baru ekonomi dunia. Kini ia memiliki cadangan devisa yang terbesar di dunia yakni 2,5 triliun dollar AS. Pencapaian ekonomi Tiongkok memiliki sebuah kata kunci: stabilitas. Kekuasaan PKT sangat otoriter, setiap perbedaan dan protes disikapi dengan represif.

Stabilitas politik dan kemampuan financialnya dijadikan senjata bagi PKT untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem “sosialisme” berkarakter Tiongkok adalah yang terbaik, dan demokrasi Barat dianggap tidak relevan. Sejak Hu Jintao berkuasa pada 2002, pimpinan PKT bertekad tetap mempertahankan monopoli dan kepemimpinan partai. Sehingga munculah wacana The Beijing Consensus atau The Tiongkok Model yang digagas oleh Joshua Copper Ramo dan Stephan Hardley yang “dipuja” sebagai model alternatif.

Reformasi politik

Ada dua struktur ekonomi-politik yang menopang Tiongkok, yakni sistem ekonomi pasar yang memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk berusaha dan mengakumulasi modal. Kedua, sistem oligarki politik di bawah monopoli PKT, yang merupakan warisan gaya kepemimpinan Stalin dan Mao Zedong dengan kekuasaan yang tersentralisir. Kontradiksi ini telah menimbulkan banyak masalah dalam relasi antara negara dengan rakyatnya.
Buah dari reformasi ekonomi telah melahirkan banyak kelas menengah terpelajar yang kritis, menginginkan kebebasan, dan demokrasi. Tekanan politik dan pelanggaran HAM, serta pemasungan pers dan pemblokiran internet membuat mereka gerah dan berusaha menjebol belenggu structural itu. Banyak kaum professional seperti pengacara, aktivis sosial dan jurnalis yang mulai berani bersikap berbeda dengan pemerintah, dan membela rakyatnya.

Realitas sosial menunjukkan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi membawa konsekuensi masalah sosial yang akut, kesenjangan yang tinggi antara kota dengan desa, orang kaya dengan orang miskin, serta buruh dengan majikan. Penelitian Liu Zhirong menunjukkan distribusi kekayaannya sangat tidak adil dan negara ini memiliki salah satu kesenjangan terbesar antara kaya dan miskin di dunia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi. Korupsi di pemerintahan yang dilakukan oleh elite partai terus merajalela.

Keadaan tersebut mendorong para intelektual bersikap kritis dan menuntut perubahan. Profesor Shang Dewen dari Institut Ekonomi Universiteas Beijing menyerukan reformasi politik. Begitu juga sejumlah aktivis HAM seperti Hu Jia, Liu Xiaobo, Gao Zhisheng yang membela Falun Gong, Wang Yonghang, pengacara tunanetra Chen Guangcheng dan lain-lain. Liu Xiaobo bahkan menerima Nobel Perdamaian 2010. Kaum buruh dan petani yang sudah lama tergusur dari kepemimpinan politik dan partai, mulai bangkit kembali.
Belajar dari Mesir, penguasa Tiongkok sudah seharusnya melakukan reformasi politik yang mendasar. Keinginan perubahan ini sudah mulai muncul di kalangan elite partai, Perdana Menteri Tiongkok, Wen Jiabao mengakui, tanpa reformasi politik, Tiongkok kemungkinan kehilangan apa yang telah dicapai melalui reformasi ekonomi. Tahun lalu, sebanyak 23 sesepuh PKT menuntut kebebasan berbicara. Komisaris Politik Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Jenderal Yazhou Liu juga mengusulkan perlunya transformasi politik ke demokrasi.

Pertemuan tahunan partai kali ini seharusnya menjadi pertaruhan bagi masa depan politik Tiongkok. Pertarungan di tingkat elite partai sudah pasti tidak bisa dielakkan meski tak terlihat di permukaan. Kekuatan konservatif yang diwakili para loyalis Jiang Zemin (mantan presiden) yang masih menguasai partai cenderung akan mempertahankan status-quo, yakni monopoli partai. Sedangkan kekuatan reformis yang diwakili oleh Wen Jiabao yang dicap sebagai liberalis mungkin mendorong reformasi politik meski dalam skala yang terbatas.

Meskipun PKT sudah memastikan dirinya akan mempertahankan ideologi komunis dan kepemimpinan partai, euforia Revolusi Melati telah memberi semangat baru bagi elemen-elemen pro perubahan di Tiongkok. Mereka mulai bangkit untuk mengakhiri kekuasaan rejim otoritarian komunis. Sikap represi PKT selama ini tak membuat mereka surut untuk memperjuangkan demokrasi dan perubahan. Semangat perlawanan itu terus bergelora di hati rakyatnya.

Kebencian rakyat Tiongkok terhadap sistem partai tunggal yang berkuasa, yang menindas rakyatnya selama puluhan tahun, sudah berada pada klimaksnya. Tuntutan reformasi politik tak bisa dibendung lagi. Bisa jadi reformasi itu akan mengarah pada jantung kekuasaan PKT, gerakan mundur dari keanggotaan partai komunis (tuidang) kini sudah mencapai lebih dari 90juta orang, dan akan terus bertambah lagi. Hancurnya hegemoni partai memang merupakan satu-satunya jalan ke luar untuk menuju jalan demokrasi bagi Tiongkok. “Tiongkok Baru” tanpa PKT barangkali hanya tinggal menunggu waktu saja. (Fadjar Pratikto / The Epoch Times)

Related Posts:

0 Response to "Revolusi Melati: Tiongkok dan Demokrasi"

Posting Komentar