Jangan Pertaruhkan Nyawamu

Siapa yang tidak kenal Kris Biantoro. MC, bintang film dan iklan yang populer tahun 70-an hingga 80-an. Setelah lama tidak pernah muncul dihadapan publik, Kris muncul dalam acara ulang tahun IKCC (Indonesia Kidney Care Club) di RS. Cikini Jakarta. Apa yang menarik perhatiannya diantara penderita penyakit ginjal? Kris Biantoro berkisah dan berbagi rasa dengan anggota klub tersebut. Ternyata banyak yang tidak mengetahui kalau Kris yang selalu terlihat segar, ceria dan menghibur, adalah penderita sakit ginjal sejak 1972.

“Ini akibat sewaktu muda suka makan-makanan yang enak, makanan jenis jeroan saya sangat suka. Pada saat saya mengalami sakit yang luar biasa karena batu ginjal, untuk mengatasinya saya mengonsumsi morfin atas pengawasan seorang mantri. Namun ini hanya untuk mengatasi rasa sakit saja. Sedang penyakit saya bertambah buruk, karena saya juga mengonsumsi berbagai jenis daun-daunan atas anjuran banyak orang.”

Setelah bertahun-tahun menjalani perawatan dan keluar masuk rumah sakit, pada suatu ketika penyakitnya telah mencapai titik yang cukup mengkhawatirkan, maka atas saran dokter agar melakukan transplantasi ginjal.

Untuk melakukan transplantasi organ seorang pasien harus melalui beberapa tahapan. Antara lain ditentukannya dahulu pendonor organ. Pendonor sebaiknya adalah saudara kandung atau kerabat. Kemudian diadakan pemeriksaan darah dan jaringan kepada keduanya. Untuk dilihat kecocokannya, hal ini penting untuk memperkecil penolakan organ baru dari antibodi penerima organ. Dan banyak lagi. Tahapan-tahapan ini cukup memerlukan waktu.

Dikarenakan kesibukan yang luar biasa, Kris memutuskan untuk segera melakukannya. Ketika dia ditawari oleh seseorang (calo) untuk melakukan transplantasi organ ke Tiongkok. Tidak berpikir panjang maka dia segera terbang ke Guangzhou.

“Tiongkok yang dulu berbeda dengan sekarang. Dahulu orang yang datang ke Guangzhou dianggap pahlawan, namun sekarang tidak lagi karena urusannya adalah HAM, urusan akan diadakannya Olimpiade. Yang lebih hebatnya lagi sewaktu peristiwa Tiananmen (1989), mahasiswa yang ditembaki, ternyata ginjalnya diambil dan dijual. Ada isu jangan berjalan sendiri di lorong-lorong bisa jadi bertemu dengan orang yang menjual organ.”
Selama perawatan di Guangzhou Kris Biantoro menceritakan suka-dukanya. Saat dia sampai di Guangzhou, dibandara dia disambut oleh tim medis dan melakukan negosiasi untuk harga ginjal. Dahulu harga ginjal berkisar Rp. 200 juta sampai dengan Rp. 250 juta, namun sekarang menjadi hanya Rp. 30 juta sampai dengan Rp. 33 juta. Akan tetapi itu tergantung jenis darah dari pasien. (Harga menjadi turun karena banyaknya stok organ yang mereka miliki).

Kris Biantoro yang bergolongan darah O mengalami kesulitan untuk mendapatkan donor karena golongan darah ini jenis yang langka. Disinilah Kris Biantoro mulai merasa dipermainkan. Meski pada awalnya calo organ itu menjamu dia seperti seorang turis, dan selalu mengajaknya makan makanan enak direstoran.

Kesulitan yang dialami olehnya adalah dia tidak dapat berkomunikasi dengan para dokter yang merawatnya. Karena para dokter yang ada di Guangzhuo meskipun adalah lulusan dari Inggris mereka tidak dapat berbahasa Inggris. Hingga sebagai penghubung antara mereka adalah calo yang membawanya sebagai penerjemah. Selama satu minggu, dia tidak diapa-apakan (kemudian diketahui ternyata Kris sebetulnya sulit untuk melakukan operasi karena tubuhnya memiliki kadar antibodi yang tinggi).

Dikarenakan adanya peraturan yang melarang pasien transplantasi dari luar Tiongkok, maka pihak rumah sakit melarang untuk melakukan transaksi pembayaran melalui bank. Ini juga untuk menghilangkan bukti-bukti dari masalah ini. Rumah sakit telah melakukan tindakan ilegal serius. Karena operasi transplantasi organ tanpa memenuhi tahapan dan aturan yang telah ditetapkan adalah melanggar “Kode Etik Kedokteran”.
Begitu juga dengan identitas pasien. Mereka mengganti nama-nama pasien yang sebenarnya dengan nama Tionghoa. Kris di berikan nama Li Ping. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan jejak jika terjadi suatu hal dengan pasien. Rumah sakit tidak dapat dituntut atau diperkarakan karena tidak terdapat data mengenai nama atau identitas sebenarnya dari pasien.

Selain itu yang lebih mengerikan adalah ginjal yang ada, diberikan kepada pasien dengan penawaran tertinggi. Disinilah Kris merasakan bahwa nyawanya hanya menjadi permainan dan sumber uang bagi dokter-dokter tersebut dan terutama calo.
Setelah 10 hari, baru pihak rumah sakit melakukan tes darah dan jaringan. Karena untuk mencari organ yang tepat dan cocok diperlukan kesamaan darah dan jaringan. Ini sebenarnya hanya bisa dipenuhi jika oleh saudara kandung atau ada hubungan kekerabatan.

Namun di Tiongkok, dokter-dokter berani untuk melakukan tranplantasi ginjal dari orang yang tidak memiliki hubungan darah. Dengan cara mereka melemahkan antibodi dari pasien. Operasi dapat berhasil, akan tetapi setelah operasi belum tentu kondisinya menjadi lebih baik. Dan tentunya sudah bukan lagi menjadi tanggung jawab dokter rumah sakit tersebut.

Setelah merasa di “ping-pong” kesana kemari, Kris merasa hidupnya benar-benar dipermainkan. Setelah banyak sekali biaya yang dikeluarkan dan belum mendapatkan perawatan semestinya, pada hari ke 20 atas bantuan dari seorang teman, mendapatkan kunjungan dokter yang dapat berbahasa Inggris dan memeriksanya.

Dari hasil catatan dokter tersebut, antibodi dari Kris sangat tinggi hingga sangat membahayakan dirinya jika dilakukan transplantasi. Dan menurut dokter tersebut tidak ada satu rumah sakitpun yang dapat melakukan operasi transplantasi pada kondisi pasien yang demikian. Bisa dilakukan bila diberikan injeksi serum untuk melemahkan anti-bodinya. Serum ini akan disuntikkan 4 kali dalam sebulan. Jika setelah dalam satu bulan tidak segera dilakukan operasi misalnya belum diperolehnya organ yang cocok, maka proses penyuntikkan serum dimulai dari awal lagi. Dan untuk itu dibutuhkan biaya yang sangat besar.

Kris semakin yakin bahwa dia juga semakin membahayakan nyawanya sendiri. Kemudian mendapatkan nasehat dari seorang kerabat, yang mengatakan umur adalah ditangan Tuhan.
Dan berdasarkan berbagai pertimbangan dan semua peristiwa yang dialaminya. Tidak ada jaminan sama sekali baginya jika operasi itu akan berhasil meski dia memiliki banyak uang. Maka Kris Biantoro akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia.

Menarik hikmah dari pengalamannya, Kris berpesan, “Meskipun kita memiliki banyak uang, jangan mempertaruhkan nyawa kita.” (Disadur dari www.erabaru.or.id)

Related Posts:

0 Response to "Jangan Pertaruhkan Nyawamu"

Posting Komentar